rempang 2

Konflik Pertanahan Di Pulau Rempang

Pulau Rempang memilik 45 kampung tua yang telah menghuni Kawasan sejak lama, berdasarkan sejarah traktak London 1824 kampung tua di Pulau Rempang telah ada 188 tahun lalu pada saat kejayaan beberapa Kerajaan yaitu kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang Malaya. Kerajaan Lingga dan Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan Pahang Malaya masuk jajahan Inggris. Masyarakat kampung tua mayoritas sejak dahulu berprofesi sebagai nelayan dan dan pelaut, sehingga letak pesisir laut memang menjadi penentu mereka dalam melangsungkan kehidupan sehari – hari. Dengan waktu yang lama ini, masyarakat kampung tua Pulau Rempang harus dinilai sebagai masyarakat adat yang harus dilindungi terkait hak atas tanah ulayat. Mereka harus dijamin bahwa tanah yang mereka huni sejak dahulu sebagai eksistensi mereka dan tempat mereka bertaruh nasib, dilindungi oleh Pemerintah.

Hal ini sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Pada Pasal 1 ayat (2) menjelaskan: “Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas – batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turuntemurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat. Jika kita mencermati ketentuan ini, maka sudah seharusnya tanah yang ditempati oleh kampung tua Pulau Rempang dijamin tanahnya sebagai hak ulayat untuk keberlangsungan hidup mereka.

Pada era orde baru dengan semangat ekonomi terbuka mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam, pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan “Pulau Batam yang termasuk dalam wilayah Daerah Tingkat I Propinsi Riau, ditetapkan sebagai Daerah Industri, selanjutnya didalam Keputusan Presiden ini disebut Daerah Industri Pulau Batam. Selanjutnya pada tahun 1992 Pulau Rempang dimasukkan sebagai Daerah Industri dengan pertimbangan semakin meningkatnya kegiatan usaha dan dengan memperhatikan terbatasnya kemampuan serta daya dukung yang tersedia di Daerah Industri Pulau Batam, dipandang perlu menambah wilayah lingkungan kerja daerah industri. Oleh karenanya, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1992 Tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam Dan Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone) bagian diktum pertama menjelaskan “Wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagaimana tergambar dalam peta terlampir”. Dengan beberapa aturan hukum ini maka Pulau Rempang telah menjadi Daerah Industri.

Namun, terkait Pulau Rempang terdapat pengecualian yaitu daerah kampung tua tetap dipertahankan eksistensinya dengan tetap mengelola tanah untuk keberlangsung hidup mereka. Hal ini berdasarkan Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam yang menjelaskan diktum Pertama “menetapkan wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam, dengan nama – nama Kampung dan Peta Lokasi terlampir” dan diktum  Kedua menjelaskan “Terhadap Wilayah Kampung Tua yang telah ditetapkan sebagaimana diktum Pertama tidak direkomendasikan kepada Otorita Batam untuk diberikan Hak Pengelolaan (HPL) Otorita Batam dan kewenangannya di bawah Pemerintah Kota Batam sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku” yang salah satunya kampung tua yang dilindungi ialah di Kawasan kecamatan Galang, Kelurahan Sembulang dan Kelurahan Rempang Cate yang berada di Pulau Rempang. Oleh karenanya, berdasarkan Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 seharusnya Pulau Rempang tidak dapat dibangun Rempang Eco City seperti yang direncanakan oleh Pemerintah bersama para Investor dalam negeri maupun asing.

Seharusnya Pemerintah Pusat dan Daerah mengedepakan hak – hak ulayat masyarakat adat dalam hal ini masyarakat kampung tua Pulau Rempang yang telah menghuni lama secara turun – temurun. Hak ulayat sebagai semangat hukum agraria kita dengan melindungi eksistensi dan kepastian masyarat adat atau masyarakat yang memang telah lama bergantung nasibnya kepada wilayahnya tersebut. Walaupun demi kepentingan pertumbahan dan percepatan ekonomi, tidak dapat menjadi alasan pembenar untuk memindahkan atau merelokasi masyarakat kepada tempat lain, apabila memang masyarakat tidak mengingkannya. Demonstrasi secara terus – menerus ini merupakan bukti penolakan masyarakat Kampung Tua Pulau Rempang atas kebijakan relokasi karena pembangunan Rempang Eco City .

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
1
Scan the code
Hello 👋
Ada yang bisa kami bantu? Kami melayani untuk konsultasi gratis.